Sejarah
adalah perhelatan ruang waktu yang selalu memanggil kita untuk menapaki tiap
lintasan sejarah yang telah terjadi pada masanya. Tidak hanya itu dalam
pelintasannya sejarah selalu melahirkan hal-hal yang baru. Ibarat mahluk,
sejarah mengejar eksistensi serta mendamba pujaan. Mungkin itulah mengapa Ibnu
khaldun menyimpulkan bahwa sejarah tidak hanya bicara tentang kejadian pada
peristiwa atau tokoh yang merujuk pada seseorang dan waktu pada masa lalu, tapi
sejarah adalah “sesuatu yang mampu memberikan kekuatan intuitif dan
insfiratifa”. ia hidup dan terus bergerak secarah intuitif serta inspiratif
,mengganti pelaku dan peristiwanya dan menjelma yang oleh Ibnu khaldun
disebut sebagai "makna" pada posisi inilah dimana sejarah menjadi kekuatan,
serta menjadi dasar dari lahirnya sejarah yang baru.
Sebagai
sebuah Negara yang terbentuk atas kesatuan politik dan kebudayaan, dengan
keragamannya Indonesia adalah salah satu Negara yang dalam konteks sosio
antropologis merupakan telagah sejarah, yang senantiasa ada dan menggerakkan
serta memandu kehidupan Bangsanya. Pancasila misalnya, ia tidak hanya menjadi
dasar dari tata kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi lebih jauh Pancasila
akan terus senantiasa hidup serta mengaharubirukan Bangsa ini pada tiap dinamika
zamannya.
Sebagai
Pemuda maka ada dua peristiwa penting dalam babakan sejarah bangsa ini, yang
pertama adalah Kongres Pemuda di Jogjakarta pada 1928 dalam hal ini melahirkan
sumpah pemuda, serta hadirnya Pancasila sebagai sebuah falsafah Negara pada 1
juni 1945 pada ruang sidang BPUPKI. Kelak kedua peristiwa inillah yang
memandu dan menggerakkan perjalanan sejarah Bangsa ini sebagai sebuah Negara
Bangsa. Kelahiran Pancasila ini kelak diperingati tiap tahunnya dengan berbagai
macam perayaannya. Perayaan serta peringatan yang dilakukan tiap bulan
Juni, yang selanjutnya disebut sebagai Bulan Pancasila, hal yang sama pada
Kongres Pemuda ke 2 Pemuda Indonesia di Oktober penaggalan 29, gelora dari
sumpah tersebut senantiasa mengisi tiap sudut Bangsa ini.
Tulisan
atau tepatnya catatan yang hadir dan di ilhami bahwa bulan ini adalah
Bulan Pancasila (Juni), serta beberapa pekan yang lalu tepatnya 29 April
2015 sebuah seruan patriotik kembali digelorakan oleh Pemuda di Bangsa
ini. Sebuah semboyan atau seruan yang menunjukan kualitas dan kesadaran
Nasionalisme dari pemuda tersebut. Selanjutnya tulisan ini akan menyandingkan
fenomena dan generasi muda Bangsa ini tentang Pancasila sebagai sebuah
pandangan hidup berbangsa dan bernegara di Republik ini.
PANCASILA
DAN REALITAS SOSIALNYA
Pancasila
dalam konteks Negara Bangsa adalah pandangan hidup yang tidak jarang menggeser
posisi kepercayaan spritual atau dalam hal ini Agama. Hampir tidak ada celah
serta kokosongan yang terdapat pada Pancasila sebagai sebuah panduan hidup dan
sebagai dasar Hukum bagi Negara ini. Pancasila sama sekali tidak
menampakkan celah ketidakadilan, ia (Pancasila) adalah tinjauan akhir dari
nilai kemanusiaan di Bangsa ini, pancasila adalah rekat perbedaan serta rajutan
dinamis dari kebudayaan serta seluruh latar belakang hidup yang berbeda beragam
di Bangsa ini. Sebagai sebuah falsafah Negara posisi Pancasila memiliki
peran sebagaimana peran Genologi dalam pengetahuan yang dijabarkan oleh Michael
Foucault bahwa ia bukanlah teori tapi lebih merupakan cara pandang atau model
perspektif untuk menempatkan diskursus, praktek sosial dan diri kita sendiri
dalam wilayah relasi kuasa, bahkan secarah Fungsional dalam konteks Negara
Bangsa sebagai falsafah, Pancasila memiliki peran yang lebih dari itu. Yudhie
Latief dalam kolom tulisan yang beliau sajikan dalam Blog dengan judul “Mental
Pancasila” mengurai sebagai berikut “Pancasila sesungguhnya bisa memberikan
landasan visi transformasi sosial yang holistik dan antisipatif.
Berdasarkan pandangan hidup Pancasila, perubahan sistem sosial merupakan
fungsi dari perubahan pada ranah mental-kultural". Boleh jadi tulisan
Yudhie Lateif ini adalah kritik atau tawaran konsepsional terhadap Revolusi
Mental yang beberapa waktu yang lalu sangat marak dibahas di Bangsa ini. Bagi
Yudhie Latief untuk mengatasi krisis multidimensional yang melanda bangsa ini,
imperatif Pancasila menghendaki adanya perubahan mendasar secara akseleratif,
yang melibatkan revolusi material, mental-kultural, dan politica, Hal ini
selanjutnya beliau bagi kedalam tiga ranah Revolusi; revolusi basis yang
bertujuan menciptakan kekuatan perekonomian dan berbasis pada usaha bersama
(gotong royong), revolusi suprastruktur yang bertujuan menciptakan masyarakat
religious yang berasaskan pada prinsip perikemanusiaan, dan revolusi (agensi) political yang berorientasi pada tercipatanya
agen perubahan yang berbasis terwujudnya kekuatan Nasional melalui kekuatan
demokrasi permusyawaratan dan beorientasi pada persatuan Nasional.
Pancasila
dalam Realitas sosialnya atau dalam hal ini Indonesia dalam kehidupan Berbangsa
dan Benegara,adalah potret degradatif dari sebuah Bangsa yang besar dan
perlahan-lahan lumpuh akibat ketidak mampuannya dalam menghadapi tantangan
zamannya. Sebuah kenyataan yang menimbulkan ironi mengingat Bangsa ini dengan
segalah potensinya seharusnya mampu melalui dan manjawab semua kebutuhan
zamannya. jalan keluar yang dipaparkan oleh yudhie latief tersebut merupakan
sesuatu yang hadir dari fenomena yang tidak sulit kita jumpai di Bangsa
ini.
Upaya
pembangunan ekonomi dibangsa ini kian hari menciptakan jurang terjal kemiskinan
dibalik tumpukan kekayaan, individualisme, disharmoni serta distegrasi kian
hari menggerus kekuatan Bangsa menjadi pesakitan yang tak berdaya mengahdapi
kondisinya. Keberagaman yang menjadi kekayaan dan kebanggaan Bangsa ini kian
waktu berubah menjadi kekuatan yang destruktif dan menjadi teror terhadap
toleransi dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Demokrasi dan dunia
pendidikan kita kian hari tergerus oleh liberalisme yang bila tidak dihalau
akan mengkaburkan identitas kita Sebagai sebuah Bangsa. Kita menyaksikan
praktek kekuasaan yang makin jauh dari hikmah dan kebijaksanaan sebagai subuah
Bangsa yang beradab dan memiliki Nilai religiusitas yang tinggi.
GENERASI
MUDA BANGSA INI
Generasi
Muda kita adalah Generasi yang lebih memaknai "merah" pada tim Setan
Merah yang ada di Mancester United ketimbang makna Merah yang ada pada
"sang saka merah putih". Generasi Muda yang lebih tercengang pada
hasil bursa transfer pemain sepak bola pada daratan Eropa ketimbang arus impor
kedelai, gula, dan sebagainya. Generasi Muda yang terdidik oleh arus waktu
keluarga yang berpacu dengan karir, hingga media televisi dengan segala
kenyamananya, menampakkan kekuatan hegemonik kapitalismenya dan menjalar bebas
mendikte perilaku anak-anak kita. Generasi Muda kita adalah Generasi Muda yang
oleh perkembangan teknologi informasi yang tidak terkontrol mencipatakan sebuah
fenomena bagi kebudayaan kita, sebuah kebudayaan yang mewujudkan perilaku minder
sebagai anak Bangsa, sebuah kebudayaan yang melahirkan sikap pemujaan terhadap
Bangsa lain serta sikap yang tidak terikat dengan moralitas sebagai anak Bangsa.
Generasi
kali ini adalah generasi yang diperhadapkan dengan keramahan serta kengerian
dari ilmu dan pengetahuan dan teknologi informasi sebagai piranti
utamanya. Menariknya fenomena kemajuan Ilmu Pengetahuan adalah sesuatu yang
kita inginkan sebagai sebuah upaya mencerdaskan kehidupan Bangsa. Disinilah
tantangan tersebut menuai medannya sebuah kenyataan dimana kita harus mengenyam
kamajuan ilmu pengatahuan dan teknologi tersebut sementara disisi lain dampak
negative terhadap kepribadian kita sebagai Bangsa Indonesia terancam. Pada
kondisi ini kita menyaksikan ketidak berdayaan Negara dalam menciptakan suatu
tatanan yang mampu menumbuh kembangkan dunia pendidikan yang berasaskan pada
nilai luhur Pancasila. Akhirnya dunia pendidikan kita adalah dunia yang tidak
lagi menjadi medium pencerahan dalam membentuk watak serta kepribadian Bangsa
Indonesia. Akan tetapi dunia Pendidikan kita adalah wajah serah dari
liberalisme. Realitas dunia pendidikan yang terbajak oleh liberalisme
itulah yang menciptakan manusia-manusia yang serakah dinegeri ini. Kebudayaan
Liberalisme dengan modernitasnya menumbuh kembangkan apa yang disebut oleh
Theodor Adorno dalam dialektika pencerahannya sebagai “dorongan psikologis
manusia yang berkeinginan kuat untuk mengusai yang lain”.
MAKNA
SEJARAH SEBAGAI SEBUAH KEKUATAN
Bangsa
ini telah tiba pada satu tahap yang krusial, tahap yang bila mana tidak
disadari serta disikapi dengan seksama tahapan akan berubah dari momentum
kebangkitan dan desktrutifitas sebagai gantinya. Ditengah pusaran "Pasar
Asean" kita berada pada kondisi Demografis yang entah menjadi petaka atau
peluang. Kita memiliki usia angkatan kerja yang banyak bahkan sangat jauh
melebihi Negara Asean lainnya. secarah georafis kekayaan sumber daya alam
khususnya lautan telah mewujudkan kesadaran yang baru yaitu menjadikan potensi
bahari sebagai dasar pembangunan kedaulatan ekonomi kita.
Pada
zamannya "Bangga Pemuda Indonesia" sebagai seruan kekuatannya
mengehentak kembali patriotisme dan Nasionalisme pemuda Bangsa ini, untuk
kembali kemedan juangnya. Medan juang yang tidak lagi menutut militansi dengan
darah dan air mata, tapi ia menuntut karya serta dedikasi sebagai wujud dari
pariotisme. Pada dasarnya bangga jadi pemuda Indonesia adalah sebuah kesadaran
yang lahir dari nasionalisme Pemuda dimana kesadaran tersebut terus bergerak
menuju level daya cipta sebagai wujud terhadap komitmen mengisi dan mengawal
kemerdekaan yang telah dipersembahkan oleh pendahulunya. Bangga jadi pemuda
Indonesia adalah kesadaran baru sebagai anak Bangsa yang tidak lagi melihat
ketimpangan pembangunan, ketidak adilan serta seluruh problematika sosial Bangsa
yang ada dibangsa ini menjadi sepenuhnya tanggung jawab Negara. Sikap bangga
menjadi pemuda Indonesia membentuk suatu cara pandang kritis dan solutif
serta menempatkan pemuda sebagai problem solver bagi semua permasalahan Negara yang
memberi ruang partisipasi bagi pemuda untuk mengabdi pada Bangsanya,
Tindakan
bangga menjadi pemuda Indonesia adalah tindakan yang lahir dari kesadaran
holistik sebagai anak Bangsa yang memiliki ikatan moral dengan Indonesia
sebagai Negara Bangsa, dan pada akhirnya kesadaran terhadap ikatan moral inilah
yang memupuk rasa bangga menjadi pemuda Indonesia tersebut. Beratnya amanah
yang lahir dari ikatan moral tersebut melahirkan komitmen dedikatif serta
melahirkan naluri kekaryaan Pemuda bagi kelangsungan kehidupan Berbangsa dan
Bernegara di Indonesia ini.
Betapapun
beratnya tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digusung oleh
kapitalisme menggerus nilai kemanusian dan mengancam tatanan kebudayaan kita,
namun pada akhirnya kepada ilmu dan pengatuan pulalah kita harus menyandarkan
harapan dan optimisme tersebut. Secarah teoritis Abraham Maslow sebagai tokoh
fenomenologi dalam konsep pembangunan manusia secarah mikro menyatakan bahwa
manusia adalah subjek terhadap kenyataan atau fenomena yang ia hadapi oleh
karena manusia akan terus senantiasa mencari sesuatu yang ia simpulkan sebagai
sebuah titik kesempurnaan.
Menyelamatkan
institusi pendidikan Bangsa ini merupakan keharusan bagi kita semua, pendidikan
kita mesti kembali menyemai ajaran dari nilai luhur kemanusian dan semua
kekakayaan hidup yang terkandung dalam butir-butir Pancasila, hanya dengan
inilah para generasi muda akan kembali menemukan makna serta moralitasnya
sebagai anak Bangsa yang hidup diatas ragam perbedaan serta kebudayaan yang
unik dan sejuk dalam tata nilai kehidupan sosialnya. Generasi muda yang oleh
Ir. Soekarno "tidak bermental tempe".
Optimisme
kita terhadap Pancasila bahwa sebagai pandangan hidup Pancasila menempatkan
segala kemulian eksitensi serta hak asasinya, Pancasila memandang setiap
pribadi sebagai sesuatu yang terbentuk dan membentuk relasi sosialnya sehingga
keparipurnaan manusia dalam pandangan Pancasila adalah sesuatu yang lahir dari
kemampuan pribadi tersebut dalam mengoptimalkan kehidupan sosialnya. Pada
keluhuran ajaran inilah kita menaruh harapan dan keyakinan bahwa Negara ini
dengan Pancasilanya akan senantiasa menjadi Bangsa yang menempatkan keadilan
sosial serta segala hal yang terkait Prikemanusiaan. Terakhir adalah suatu
kenyataan yang pahit digambarkan Fritjof Capra dalam karyanya “The Turning
Point” yang sepenuhnya menjelaskan kegagalan modernisme dalam mencapai tujuan
kemanusiaan, telah terjadi krisis multidimensional yaitu dimensi intelektual,
spiritual dan moral, yang kesemuanya disebabkan oleh modernisme yang awalnya
menjadi alternatif tidak mampu lagi mengangkat kemanusian oleh karena telah
melenceng dari kebudayaan. Hal ini memberikan suatu penjelasan utuh bahwa
Pancasila dengan semua nilai moral spritualnya akan senantiasa kokoh, tugas
kita adalah merawat ideologi ini, agar senantiasa tumbuh dan menumbuhkan
kebudayaan kita sebagai Negara Bangsa Indonesia.
Oleh
Agus Toro (Aktifis PB HMI)
No comments:
Post a Comment