Dinamika suatu entitas kehidupan dalam perjalanannya tidak pernah
terlepas dari koordinat zamannya. Kemampuan membaca teks zamannya, kemampuan
adaptif dan dan evolutif menjadi prasyarat eksisnya entitas pada suatu ruang
dan waktu. Secara empirik, banyak entitas yang kemudian kehilangan energi
kreatifnya untuk tetap bertahan dalam dinamika kehidupan yang dinamis karena
terlampau jauh menyimpang dari apa yang menjadi kebutuhan, keinginan dari zamannya.
Secara historis kehidupan mengenal banyaknya Peradaban Besar yang pernah tumbuh
berkembang dan besar dizamannya, untuk kemudian runtuh dan menyisakan sisa
peradaban yang menjadi input bagi peradaban selanjutnya, hal ini disebabkan
ketidakmampuan menjawab tantangan zamannya.
Dinamika kehidupan
mahasiswa sebagai bagian sistemik dari kehidupan kontomporer juga tidak
terlepas dari hukum sejarah ini. Ini menyiratkan perlunya kesungguhan dan
keseriusan dalam membaca teks zaman, untuk kemudian adaptif agar tetap mampu bertahan
dan mewarnai Zamannya. Kemampuan
bertahan saja bukan menjadi tujuan final, tapi bagaimana kita mampu mewarnai
gerak Zaman dengan apa yang menjadi keinginan kemanusiaan yang berlandaskan pada Keadilan dan
kebenaran.
Salah satu
kecendrungan yang menguat di era sekarang ini adalah semakin melumernya
batas-batas, baik batas secara fisik misalnya batas-batas geografis yang selama
ini menjadi penghalang dalam interaksi untuk saat sekarang ini makin mengabur
disebabkan semakin majunya tekhnologi komunikasi dan informasi, maupun
batas-batas nonfisikal misalnya budaya, sehingga tidak ada lagi perbedaan
substansial antara kelas menengah di Jakarta, London, Makassar, semua
mengkonsumsi coca-cola, memakai jeans Levis, semua memusat pada satu budaya
yang sifatnya global dan menggurita yaitu budaya konsumerisme massal. Budaya
konsumerisme massal dan pemanjaan akan hasrat kemudian menjadi attraktors dan
melakukan hegemoni pada segenap dimensi ruang dan waktu, menarik apa yang ada
disekitarnya kedalam pusarannya. Semakin terpinggirlah budaya-budaya lokal yang
muncul dari pengalaman adaptif masyarakat lokal pada kehidupan, hilanglah
kearifan-kearifan sebagai intisari budaya lokal tadi.
Ada dimensi lain dari budaya
yang kadangkala terabaikan, tetapi sangat urgensif, dimana budaya yang berperan
sebagai identitas dan lencana pembeda yang menjadi jati diri bagi setiap
individu dalam suatu masyarakat. Dengan semakin terkikisnya budaya, maka
semakin kaburlah jati diri dan identitas, keterasingan, sehingga yang ada adalah
individu maupun masyarakat yang kehilangan jati diri dan terasa asing dengan
dirinya.
Ini juga menjadi ancaman bagi kehidupan kampus dengan budaya
akademiknya yang berlandaskan pada rasionalitas. Apalagi untuk konteks negara
transisi yang belum mengalami pematangan difrensiasi dan optimalisasi peran
struktur sosialnya. Kaburnya identitas dan jati diri yang telah lama kita
rasakan inilah yang sangat mengancam kelangsungan hidup, ini jugalah salah satu
akar dari beberapa akar masalah sehingga kampus kemudian alih-alih mampu
mewarnai zamannya, untuk bertahan hidup saja Kampus sudah terseok-seok, padahal
kerinduan pada kampus yang menjadi suluh bagi penindasan dan ketidakadilan
adalah fitrah kedirian kampus.
Perangkat teoritis yang didapat diruang-ruang kuliah dan budaya
akademik yang berlandaskan pada penghargaan atas Rasio kemudian menguatkan dan
mematangkan pisau analisa dan kerangka teoritik yang digunakan untuk
menggeledah masalah social kemasyarakatan dan ketimpangan yang muncul demi
pengabdian kita pada keadilan dan kebenaran itu sendiri. Begitulah mungkin
harapan dan keinginan yang masih menjadi ideal-ideal belaka didunia kenyataan
ini.
Kemampuan membaca teks zaman untuk kemudian melakukan adaptasi dan
turut mewarnai zaman menjadi kebutuhan objektif bagi masyarakat kampus saat
ini. Untuk itulah yang strategis dan urgensif kita lakukan adalah bagaimana
membumikan dan menumbuh kembangkan budaya akademik dalam masyarakat kampus
sendiri sebagai langkah awal. Tapi satu yang menjadi catatan, bahwa kita
berhadapan dengan kemapanan yang telah melembaga sehingga kemudian proses
pembumian menjadi agenda panjang yang kontinuisitas sifatnya.
Bonus demografi pemuda Indonesia menempatkan posisi negara ini sebagai
negara yang memiliki potensi sangat besar mengingat usia produktif manusia
berkisar dari 15-30 Tahun dan negara ini memiliki jumlah pemuda sebesar 40% (data
pemilu 2014). Dengan hal itu maka seharusnya ruang rasio dan skill value dalam kehidupan kampus tetap
menjadi iklim yang tidak tergilas oleh budaya budpop.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk membentuk mahasiswa
mengingat bahwa mahasiswa adalah bagian dari pemuda yang akan menjadi harapan
bangsa dan hal ini juga butuh kerjasama oleh pihak terkait (birokrasi kampus,
pemerintah). Hal tersebut adalah mewujudkan keserasian kebijakan mahasiswa di
berbagai bidang pembangunan, memperluas kesempatan pemuda memperoleh pendidikan
dan keterampilan, meningkatkan peran serta mahasiswa dalam pembangunan sosial,
politik, ekonomi, lingkungan hidup, ketahanan, keamanan serta budaya dan
agama, meningkatkan potensi pemuda dan
mahasiswa dalam kewirausahaan, kepeloporan, dan kepemimpinan dalam pembangunan,
memperkokoh pembinaan mental, moral dan spiritual generasi muda yang berbasis
pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Bila hal itu bisa kita lakukan
mungkin mahasiswa dan pemuda Indonesia tidak akan tertindih oleh beratnya beban
Globalisasi malah sebaliknya pemuda Indonesia mampu menguasai laju dan pasar
Globalisasi.
Mahmud Amir (Mahasiswa Pascasarjana, Aktifis PB HMI)
| Free Bussines? |
No comments:
Post a Comment