Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut
pula korupsinya. Orang-orang besar hampir selalu orang jahat “Lord Acton”
Seperti apa yang disampaikan oleh Lord
Acton saya pun berpendapat demikian dengan melihat berbagai macam kisruh yang
terjadi akibat perebutan dari kekuasaan. Terdapat
kecenderungan bahwa realitas politik dalam penyelenggaraan kekuasaan yang
selama ini berjalan lebih berorientasi pada kekuasaan atau politik untuk
kekuasaan (politics of power) daripada memerankan politik nilai (politics
of values) dalam membangun masyarakat yang bermartabat dan berbudi luhur.
Realitas politics of power juga,
cenderung korup dan tidak adil dalam distribusi dan penggunaan kekayaan (uang
negara), padahal di sana terdapat kekayaan yang menjadi hak anak yatim dan
fakir miskin. Mereka melakukan kemungkaran politik secara kolektif dengan
memakan harta hak anak yatim dan fakir miskin melalui pengurangan takaran
raskin (beras untuk masyarakat miskin) menggunakan dana APBD dalam setiap
kampanyenya, misalnya dan itu telah menjadi hal yang biasa dalam kontestasi
politik di tanah air ditambah lagi dengan bentuk-bentuk penyimpangan kebijakan yang
menjadikan masyrakat low class dengan
berbagai profesinya makin menderita. Politik oposisi inilah yang selalu melahirkan
ketegangan sosial antarumat beragama dan berbangsa.
Orientasi politics of power yang
tampaknya menjadi titik tolak pandang seluruh kontestan politik dalam pemilihan
umum langsung tahun 2014, sehingga pemilu cenderung bukan mendatangkan rahmat,
persaudaraan, kesejahteraan dan kedamaian, melainkan justru, melahirkan
perpecahan dan konflik. Bukan hanya pada pemilu saja orientasi politics of power ini bekerja namun juga
pada organisasi-organisasi kepemudaan seperti halnya yang baru saja terjadi di
forum kongres KNPI di Jayapura dimana peserta saling sikut karena kepentingan
kelompok atau golongan. Apakah realitas politik seperti yang kita inginkan ?
tentu bukan saya saja yang tidak menginginkan hal seperti ini. Tantangan terberat
masyarakat saat ini adalah menerjemahkan isi epistemis mengenai
keyakinan-keyakinan religius yang spesifik ke dalam perbincangan rasional yang
penuh saling pengertian. Kita yang sudah selalu hidup dalam masyarakat majemuk
tidak akan bisa kecuali bekerja keras menjawab tantangan itu.
Thomas
F. Odea ketika menjelaskan munculnya sebuah agama, menyebutkan bahwa sumber
kerawanan atau dalam istilahnya breaking points (titik kritis) adalah
karena manusia memiliki tiga karakteristik dasar eksistensi, yaitu
ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaaan. Jika karakter dasar manusia
tersebut terakumulasi dan memuncak, maka masyarakat manusia cenderung akan
mengalami apa yang disebut oleh Max Weber sebagai persoalan makna, yakni
kebingungan, penderitaan, serta ketegangan etis dan sosial yang mengarah kepada
penciptaan dunia masyarakat yang chaos.
Anselm
Von Peugrbach menyatakan bahwa agama dalam bentuk apa pun ia muncul, tetap
merupakan kebutuhan ideal umat manusia. Peranan agama sangat menentukan dalam
setiap bidang kehidupan sebab manusia tanpa agama tidak akan dapat hidup secara
sempurna. Menurut Berger, legitimasi religius atau agama akan sangat efektif
(dalam proses transformasi sosial-kultural), karena agama menghubungkan
konstruksi-konstruksi realitas rawan dari masyarakat empiris dengan realitas
purna (transenden).
Didalam keberagamaan terdapat tiga kaidah asasi agama
yang pertama adalah kaidah ketuhanan yang mana kekuasaan bukanlah sebagai tujuan segalanya, melainkan
hanya salah satu perwujudan pengabdian. Tentu saja hal ini tidak menempatkan
kekuasaan sebagai tujuan hidup apalagi menjadikannya sebagai tahta yang terus
harus diturunkan kepada anak cucunya seperti realitas ‘dinasti politik’ di
Indonesia. Kekuasaan hanyalah suatu usaha untuk dapat menaikkan nilai rohani
atau spiritualitas diri sehingga dapat mengelola alam/masyarakat sesuai
kehendak Tuhan
Kedua
adalah kaidah kemanusiaan, dimaksudkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan harus
diorientasikan (memiliki komitmen) untuk melakukan pembelaan terhadap kaum
lemah (miskin, terbelakang dan tertindas), serta untuk penegakan keadilan dan
kesejahteraan sosial.
Ketiga,
kaidah peradaban, dimaksudkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan harus
diorientasikan (memiliki komitmen) untuk menciptakan masyarakat yang beradab
dan berperadaban. Bukan sebaliknya, penyelenggaraan kekuasaan justru
menciptakan masyarakat yang tidak beradab, di mana uang menjadi orientasi
kekuasaan, kekerasan menjadi satu-satunya hakim atas semua nilai, manusia lawan
manusia, serta kecurangan dan tipu daya menjadi seni kehidupan.
Dalam penyelenggaraan kekuasaan di Indonesia
sebaiknya tetap berpegang pada tiga kaidah tersebut sehingga politics value dapat diciptakan dalam setiap
dimensi kekuasaan Republik ini. Oleh
karena itu perlu adanya pengawasan oleh setiap unsur masyarakat terhadap
pelaksanaan kontestasi politik dalam bentuk apapun (Pemilu, Kongres, Munas,
dll) agar memperoleh
keamanan, stabilitas, rasa keadilan, kepastian hukum, kedamaian, dan
kesejahteraan.Mahmud Amir (Mahasiswa Pascasarjana, Aktifis PB HMI)
No comments:
Post a Comment