rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Sunday, June 7, 2015

Bulan Pancasila dan Bangga Menjadi Indonesia

Sejarah adalah perhelatan ruang waktu yang selalu memanggil kita untuk menapaki tiap lintasan sejarah yang telah terjadi pada masanya. Tidak hanya itu dalam pelintasannya sejarah selalu melahirkan hal-hal yang baru. Ibarat mahluk, sejarah mengejar eksistensi serta mendamba pujaan. Mungkin itulah mengapa Ibnu khaldun menyimpulkan bahwa sejarah tidak hanya bicara tentang kejadian pada peristiwa atau tokoh yang merujuk pada seseorang dan waktu pada masa lalu, tapi sejarah adalah “sesuatu yang mampu memberikan kekuatan intuitif dan insfiratifa”. ia hidup dan terus bergerak secarah intuitif serta inspiratif ,mengganti pelaku dan peristiwanya  dan menjelma yang oleh Ibnu khaldun disebut sebagai "makna" pada posisi inilah dimana sejarah menjadi kekuatan, serta menjadi dasar dari lahirnya sejarah yang baru.
Sebagai sebuah Negara yang terbentuk atas kesatuan politik dan kebudayaan, dengan keragamannya Indonesia adalah salah satu Negara yang dalam konteks sosio antropologis merupakan telagah sejarah, yang senantiasa ada dan menggerakkan serta memandu kehidupan Bangsanya. Pancasila misalnya, ia tidak hanya menjadi dasar dari tata kehidupan berbangsa dan bernegara tetapi lebih jauh Pancasila akan terus senantiasa hidup serta mengaharubirukan Bangsa ini  pada tiap dinamika zamannya. 
Sebagai Pemuda maka ada dua peristiwa penting dalam babakan sejarah bangsa ini, yang pertama adalah Kongres Pemuda di Jogjakarta pada 1928 dalam hal ini melahirkan sumpah pemuda, serta hadirnya Pancasila sebagai sebuah falsafah Negara pada 1 juni 1945 pada ruang sidang BPUPKI. Kelak kedua peristiwa inillah yang  memandu dan menggerakkan perjalanan sejarah Bangsa ini sebagai sebuah Negara Bangsa. Kelahiran Pancasila ini kelak diperingati tiap tahunnya dengan berbagai macam perayaannya. Perayaan serta peringatan yang dilakukan  tiap bulan Juni, yang selanjutnya disebut sebagai Bulan Pancasila, hal yang sama pada Kongres Pemuda ke 2 Pemuda Indonesia di Oktober penaggalan 29, gelora dari sumpah tersebut senantiasa mengisi tiap sudut Bangsa ini.
Tulisan atau tepatnya catatan yang  hadir dan di ilhami bahwa bulan ini adalah Bulan Pancasila (Juni), serta beberapa pekan yang lalu tepatnya 29 April 2015  sebuah seruan patriotik kembali digelorakan oleh Pemuda di Bangsa ini. Sebuah semboyan atau seruan yang menunjukan kualitas dan kesadaran Nasionalisme dari pemuda tersebut. Selanjutnya tulisan ini akan menyandingkan fenomena dan generasi muda Bangsa ini tentang Pancasila sebagai sebuah pandangan hidup berbangsa dan bernegara di Republik ini.

PANCASILA DAN REALITAS SOSIALNYA

Pancasila dalam konteks Negara Bangsa adalah pandangan hidup yang tidak jarang menggeser posisi kepercayaan spritual atau dalam hal ini Agama. Hampir tidak ada celah serta kokosongan yang terdapat pada Pancasila sebagai sebuah panduan hidup dan sebagai dasar Hukum bagi Negara ini. Pancasila sama sekali tidak menampakkan celah ketidakadilan, ia (Pancasila) adalah tinjauan akhir dari nilai kemanusiaan di Bangsa ini, pancasila adalah rekat perbedaan serta rajutan dinamis dari kebudayaan serta seluruh latar belakang hidup yang berbeda beragam di Bangsa ini. Sebagai sebuah falsafah Negara posisi Pancasila memiliki peran sebagaimana peran Genologi dalam pengetahuan yang dijabarkan oleh Michael Foucault bahwa ia bukanlah teori tapi lebih merupakan cara pandang atau model perspektif untuk menempatkan diskursus, praktek sosial dan diri kita sendiri dalam wilayah relasi kuasa, bahkan secarah Fungsional dalam konteks Negara Bangsa sebagai falsafah, Pancasila memiliki peran yang lebih dari itu. Yudhie Latief dalam kolom tulisan yang beliau sajikan dalam Blog dengan judul “Mental Pancasila” mengurai sebagai berikut “Pancasila sesungguhnya bisa memberikan landasan visi transformasi sosial yang holistik dan antisipatif.  Berdasarkan pandangan hidup Pancasila, perubahan sistem  sosial merupakan fungsi dari perubahan pada ranah mental-kultural". Boleh jadi tulisan Yudhie Lateif ini adalah kritik atau tawaran konsepsional terhadap Revolusi Mental yang beberapa waktu yang lalu sangat marak dibahas di Bangsa ini. Bagi Yudhie Latief untuk mengatasi krisis multidimensional yang melanda bangsa ini, imperatif Pancasila menghendaki adanya perubahan mendasar secara akseleratif, yang melibatkan revolusi material, mental-kultural, dan politica, Hal ini selanjutnya beliau bagi kedalam tiga ranah Revolusi; revolusi basis yang bertujuan menciptakan kekuatan perekonomian dan berbasis pada usaha bersama (gotong royong), revolusi suprastruktur yang bertujuan menciptakan masyarakat religious yang berasaskan pada prinsip perikemanusiaan, dan revolusi (agensi) political yang berorientasi pada tercipatanya agen perubahan yang berbasis terwujudnya kekuatan Nasional melalui kekuatan demokrasi permusyawaratan dan beorientasi pada persatuan Nasional.
Pancasila dalam Realitas sosialnya atau dalam hal ini Indonesia dalam kehidupan Berbangsa dan Benegara,adalah potret degradatif dari sebuah Bangsa yang besar dan perlahan-lahan lumpuh akibat ketidak mampuannya dalam menghadapi tantangan zamannya. Sebuah kenyataan yang menimbulkan ironi mengingat Bangsa ini dengan segalah potensinya seharusnya mampu melalui dan manjawab semua kebutuhan zamannya. jalan keluar yang dipaparkan oleh yudhie latief tersebut merupakan sesuatu yang hadir dari fenomena yang tidak  sulit kita jumpai di Bangsa ini.
Upaya pembangunan ekonomi dibangsa ini kian hari menciptakan jurang terjal kemiskinan dibalik tumpukan kekayaan, individualisme, disharmoni serta distegrasi kian hari menggerus kekuatan Bangsa menjadi pesakitan yang tak berdaya mengahdapi kondisinya. Keberagaman yang menjadi kekayaan dan kebanggaan Bangsa ini kian waktu  berubah menjadi kekuatan yang destruktif dan menjadi teror terhadap toleransi dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Demokrasi dan dunia pendidikan kita kian hari tergerus oleh liberalisme yang bila tidak dihalau akan mengkaburkan identitas kita Sebagai sebuah Bangsa. Kita menyaksikan praktek kekuasaan yang makin jauh dari hikmah dan kebijaksanaan sebagai subuah Bangsa yang beradab dan memiliki Nilai religiusitas yang tinggi.

GENERASI MUDA BANGSA INI

Generasi Muda kita adalah Generasi yang lebih memaknai "merah" pada tim Setan Merah yang ada di Mancester United ketimbang makna Merah yang ada pada "sang saka merah putih". Generasi Muda yang lebih tercengang pada hasil bursa transfer pemain sepak bola pada daratan Eropa ketimbang arus impor kedelai, gula, dan sebagainya. Generasi Muda yang terdidik oleh arus waktu keluarga yang berpacu dengan karir, hingga media televisi dengan segala kenyamananya, menampakkan kekuatan hegemonik kapitalismenya dan menjalar bebas mendikte perilaku anak-anak kita. Generasi Muda kita adalah Generasi Muda yang oleh perkembangan teknologi informasi yang tidak terkontrol mencipatakan sebuah fenomena bagi kebudayaan kita, sebuah kebudayaan yang mewujudkan perilaku minder sebagai anak Bangsa, sebuah kebudayaan yang melahirkan sikap pemujaan terhadap Bangsa lain serta sikap yang tidak terikat dengan moralitas sebagai anak Bangsa.
Generasi kali ini adalah generasi yang diperhadapkan dengan keramahan serta kengerian dari ilmu dan pengetahuan dan  teknologi informasi sebagai piranti utamanya. Menariknya fenomena kemajuan Ilmu Pengetahuan adalah sesuatu yang kita inginkan sebagai sebuah upaya mencerdaskan kehidupan Bangsa. Disinilah tantangan tersebut menuai medannya sebuah kenyataan dimana kita harus mengenyam kamajuan ilmu pengatahuan dan teknologi tersebut sementara disisi lain dampak negative terhadap kepribadian kita sebagai Bangsa Indonesia terancam. Pada kondisi ini kita menyaksikan ketidak berdayaan Negara dalam menciptakan suatu tatanan yang mampu menumbuh kembangkan dunia pendidikan yang berasaskan pada nilai luhur Pancasila. Akhirnya dunia pendidikan kita adalah dunia yang tidak lagi menjadi medium pencerahan dalam membentuk watak serta kepribadian Bangsa Indonesia. Akan tetapi dunia Pendidikan kita adalah wajah serah dari liberalisme.  Realitas dunia pendidikan yang terbajak oleh liberalisme itulah yang menciptakan manusia-manusia yang serakah dinegeri ini. Kebudayaan Liberalisme dengan modernitasnya menumbuh kembangkan apa yang disebut oleh Theodor Adorno dalam dialektika pencerahannya sebagai “dorongan psikologis manusia yang berkeinginan kuat untuk mengusai yang lain”.

MAKNA SEJARAH SEBAGAI SEBUAH KEKUATAN
Bangsa ini telah tiba pada satu tahap yang krusial, tahap yang bila mana tidak disadari serta disikapi dengan seksama tahapan akan berubah dari momentum kebangkitan dan desktrutifitas sebagai gantinya. Ditengah pusaran "Pasar Asean" kita berada pada kondisi Demografis yang entah menjadi petaka atau peluang. Kita memiliki usia angkatan kerja yang banyak bahkan sangat jauh melebihi Negara Asean lainnya. secarah georafis kekayaan sumber daya alam khususnya lautan telah mewujudkan kesadaran yang baru yaitu menjadikan potensi bahari sebagai dasar pembangunan kedaulatan ekonomi kita.
Tahap atau fase perjalanan ini seyogyanya mengajak kita merenung dan menemukan kembali  makna, serta otentitas kedirian kita sebagai Bangsa Indonesia. Fase yang mengharuskan kita meremuskan atau menggali kembali seluruh potensi keberdayaan kita. Potensi tersebut tentunya tidak hanya berkaitan dengan keberdayaan kita secarah Ekonomi serta kekayaan sumber daya alam kita, akan tetapi keseluruhan potensi bangsa ini pada akhirnya harus kita gerakan secarah padu, termasuk dalam hal ini kekuatan yang berkaitan dengan kehidupan sosial kita sebagai sebuah Negara Bangsa. Kekuatan yang menyimpan keluhuran nilai sebagai bangsa yang berbudaya serta pandangan hidup yang membentuk watak dan kepribadian manusia Indonesia, serta menjadi dasar dari semua kedaulatan Bangsa Indonesia sebagai sebuah Negara. Termasuk dalam hal ini adalah sejarah dengan kekuatan intuitif dan inspiratifnya.
Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimismelah yang mendorong kesuksesan. Impian kemajuan suatu bangsa tak bisa dibangun dengan pesimisme. Tentu saja yang kita perlukan bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu optimisme dengan mata terbuka, mampu menumbuhkan harapan yang tentunya harus disandarkan pada cita yang luhur atau visi. Dari timur jauh dibangsa ini, ditanah Papua nun jauh disana telah tercipta satu "harapan" yang digelorakan oleh KNPI. Harapan yang bergelayut bersama suatu pesan yang tidak hanya mengejewantahkan patriotisme KNPI tetapi pesan tersebut secarah sosiologis menyejukkan kembali suasana kebangsaan kita, pesan yang menampilkan otentitas kesatuan pemuda indonesia sebagai sebuah kekuatan kebudayaan yang senantiasa menopang Bangsanya sebagai sebuah Negara.
"BANGGA JADI PEMUDA INDONESIA." sulit kita membayangkan bahwa "semboyan" atau pesan ini lahir dari anak bangsa yang tidak hanya secara georafis berada pada titik tepi bangsa ini. akan tetapi realitas pembangunan Papua adalah realitas pembangunan yang timpang dan jauh dari makna keadilan. Dibutuhkan suatu mental ideologi, serta optimisme yang matang bagi siapapun untuk menggelorakan semboyan tersebut, tapi itulah kenyataanya Muhammad Rivai Daus yang baru ini terpilih pada Kongres Nasional Pemuda Indonesia diawal pidatonya sebagai Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) beberapa waktu yang lalu dihadapan Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) Indonesia dengan tegas beliau menyampaikan "Saya adalah anak Indonesia yang lahir ditimur jauh Indonesia, tanah Papua, saya bangga menjadi pemuda Indonesia".  Bisakah sejarah itu berulang? tidak! sejarah telah bertransformasi, menuntut eksistensinya, mengganti persitiwa dan pelakunya dan tidak meninggal hakikat kehadirannya.
Arus kebangkitan pemuda pada masa silam hadir sebagai pijakan kekuatan yang baru. sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sumpah pemuda 1928 bukanlah merupakan peristiwa politik yang digerakkan oleh Pemuda, melainkan ia adalah peristiwa kebudayaan. Semboyan "bangga jadi pemuda Indonesia" tidak hanya mengingatkan kita pada 1928 silam tepatnya pada 28 Oktober dimana pemuda Bangsa ini telah memutus matarantai Feodalisme menjadi sebuah kesadaran baru yang secarah esensial tidak hanya menyerukan nasionalisme dan persatuan Indonesia, melainkan peristiwa tersebut adalah awal dari peletakan karakter dan jati diri Bangsa ini.
Pada zamannya "Bangga Pemuda Indonesia" sebagai seruan kekuatannya mengehentak kembali patriotisme dan Nasionalisme pemuda Bangsa ini, untuk kembali kemedan juangnya. Medan juang yang tidak lagi menutut militansi dengan darah dan air mata, tapi ia menuntut karya serta dedikasi sebagai wujud dari pariotisme. Pada dasarnya bangga jadi pemuda Indonesia adalah sebuah kesadaran yang lahir dari nasionalisme Pemuda dimana kesadaran tersebut terus bergerak menuju level daya cipta sebagai wujud terhadap komitmen mengisi dan mengawal kemerdekaan yang telah dipersembahkan oleh pendahulunya. Bangga jadi pemuda Indonesia adalah kesadaran baru sebagai anak Bangsa yang tidak lagi melihat ketimpangan pembangunan, ketidak adilan serta seluruh problematika sosial Bangsa yang ada dibangsa ini menjadi sepenuhnya tanggung jawab Negara. Sikap bangga menjadi pemuda Indonesia membentuk suatu cara pandang kritis dan  solutif serta menempatkan pemuda sebagai problem solver bagi semua permasalahan Negara yang memberi ruang partisipasi bagi pemuda untuk mengabdi pada Bangsanya,
Tindakan bangga menjadi pemuda Indonesia  adalah tindakan yang lahir dari kesadaran holistik sebagai anak Bangsa yang memiliki ikatan moral dengan Indonesia sebagai Negara Bangsa, dan pada akhirnya kesadaran terhadap ikatan moral inilah yang memupuk rasa bangga menjadi pemuda Indonesia tersebut. Beratnya amanah yang lahir dari ikatan moral tersebut melahirkan komitmen dedikatif serta melahirkan naluri kekaryaan Pemuda bagi kelangsungan kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia ini.
Lalu bagaimana relevansi euforia kebangkitan tersebut dengan Pancasila?. Hal yang penting bagi kita semua bahwa Indonesia sebagai institusi adalah Negara, kehadirannya bukanlah merupakan pengaruh politik semata tetapi pada sisi yang lain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan produk kebudayaan dimana secarah geografis bermula pada doktrin Nusantara. Pada kesimpulan inilah kita optimis bahwa resonansi Indonesia sebagai Negara yang berdiri pada simbiosa politik dan kebudayaan adalah resonansi yang memberikan ruang pada kemanusiaan dengan segala dinamika perilaku dan interaksinya sebagai mahluk sosial satu sisi dan warga negara pada sisi lainnya. Secarah arkeologis Pancasila sebagai pandangan hidup akan terus hidup bersama arus kemanusiaan dan dinamika kewargaan itu sendiri di Negara Bangsa ini.
Betapapun beratnya tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang digusung oleh kapitalisme menggerus nilai kemanusian dan mengancam tatanan kebudayaan kita, namun pada akhirnya kepada ilmu dan pengatuan pulalah kita harus menyandarkan harapan dan optimisme tersebut. Secarah teoritis Abraham Maslow sebagai tokoh fenomenologi dalam konsep pembangunan manusia secarah mikro menyatakan bahwa manusia adalah subjek terhadap kenyataan atau fenomena yang ia hadapi oleh karena manusia akan terus senantiasa mencari sesuatu yang ia simpulkan sebagai sebuah titik kesempurnaan. 
Menyelamatkan institusi pendidikan Bangsa ini merupakan keharusan bagi kita semua, pendidikan kita mesti kembali menyemai ajaran dari nilai luhur kemanusian dan semua kekakayaan hidup yang terkandung dalam butir-butir Pancasila, hanya dengan inilah para generasi muda akan kembali menemukan makna serta moralitasnya sebagai anak Bangsa yang hidup diatas ragam perbedaan serta kebudayaan yang unik dan sejuk dalam tata nilai kehidupan sosialnya. Generasi muda yang oleh Ir. Soekarno "tidak bermental tempe". 
Optimisme kita terhadap Pancasila bahwa sebagai pandangan hidup Pancasila menempatkan segala kemulian eksitensi serta hak asasinya, Pancasila memandang setiap pribadi sebagai sesuatu yang terbentuk dan membentuk relasi sosialnya sehingga keparipurnaan manusia dalam pandangan Pancasila adalah sesuatu yang lahir dari kemampuan pribadi tersebut dalam mengoptimalkan kehidupan sosialnya. Pada keluhuran ajaran inilah kita menaruh harapan dan keyakinan bahwa Negara ini dengan Pancasilanya akan senantiasa menjadi Bangsa yang menempatkan keadilan sosial serta segala hal yang terkait Prikemanusiaan. Terakhir adalah suatu kenyataan yang pahit digambarkan Fritjof Capra dalam karyanya “The Turning Point” yang sepenuhnya menjelaskan kegagalan modernisme dalam mencapai tujuan kemanusiaan, telah terjadi krisis multidimensional yaitu dimensi intelektual, spiritual dan moral, yang kesemuanya disebabkan oleh modernisme yang awalnya menjadi alternatif tidak mampu lagi mengangkat kemanusian oleh karena telah melenceng dari kebudayaan. Hal ini memberikan suatu penjelasan utuh bahwa Pancasila dengan semua nilai moral spritualnya akan senantiasa kokoh, tugas kita adalah merawat ideologi ini, agar senantiasa tumbuh dan menumbuhkan kebudayaan kita sebagai Negara Bangsa Indonesia.

Oleh Agus Toro (Aktifis PB HMI) 


| Free Bussines? |

No comments:

Post a Comment